.

Minggu, 11 September 2011

Estetika kebablasan dalam arsitektur masjid Jami’ Al-Baitul Amin Jember

Memberi prioritas antara “nilai estetis” dan ”nilai fungsi” dalam proses penciptaan arsitektur, barangkali merupakan pertimbangan awal yang harus dibangun dengan kokoh. Seringkali saya membatalkan kekaguman pada karya arsitektur bangunan karena saya menganggap sang perancang “amnesia” atau salah menimbang prioritas atas “nilai estetis” dan “nilai fungsi” tersebut. Saya sepakat jika estetika adalah hal mutlak dalam penciptaan karya seni. Namun dalam arsitektur bangunan, selera estetika sang arsitek harus diberangkatkan dari pemahaman atas fungsi bangunan yang akan dirancangnya.

Menomorsatukan nilai fungsi bukan berarti ”menyapih” nilai keindahan,tetapi mendasarkan pilihan-pilihan bentuk estetika rancangan pada nilai fungsi bangunan tersebut. Contoh beberapa karya cipta dari sedikit karya rancang bangunan yang mampu “mengawinkan” kedua nilai tersebut dengan baik—menurut saya—adalah gedung DPR/MPR RI, Gelora Bung Karno, dan Masjid Istiqlal. Memang harus diakui jika di negara ini, arsitektur yang berhasil memadukan nilai fungsi sekaligus estetika tidak banyak. Ambil contoh masjid Jami’ Al-Baitul Amin di kota Jember, Jawa Timur. Menurut saya, setelah hampir empat tahun hidup di kota tembakau ini, arsitektur masjid Jami’ Al-Baitul Amin secara estetis amboy-lah, tetapi bangunan peribadatan umat muslim yang terletak di sebelah Barat alun-alun kota ini terkesan menganaktirikan nilai fungsinya sebagai tempat peribadatan kolektif (jamaah).

Memahami nilai fungsi suatu bangunan yang akan dirancang saya kira tidak terlampau sulit, apalagi oleh seorang arsitek profesional. Hanya saja kekuatan nilai estetis yang memang menawarkan kepuasan psikologis lebih, seringkali mengecoh. Hal ini yang saya sebut sebagai estetika kebablasan. Nilai keindahannya pun menipu. Coba Anda bayangkan, jika pembangunan jalan layang yang sebenarnya diperuntukkan sebagai penyelesaian atas kemacetan dibangun dengan rumit, berkelok-kelok, memutar berkali-kali, hingga membentuk tokoh pewayangan Gatot Kaca misalnya. Jika kemudian saya berteriak bahwa hal tersebut adalah estetika yang menipu, anggap saja saya sedang berkata jujur sekaligus mengingatkan Anda untuk tidak melintasi jalan layang yang akan memperpanjang perjalanan Anda dengan kemacetan tersebut.

Jami’ Al-Baitul Amin, masjid kebanggaan masyarakat Jember ini, tidak mempunyai kubah yang terpisah di puncak bangunan seperti pada umumnya masjid-masjid di Indonesia, yang dalam hal ini bisa dikatakan sebagai pilihan estetis yang unik dan tidak konvensional. Bangunan masjid ini malah keseluruhannya adalah kubah dari bawah sampai atas sehingga mendapat sebutan sebagai “Masjid Jamur”. Masjid ini mempunyai lima kubah utama dan dua kubah kecil sebagai tempat wudu. Dari lima kubah utama ini terdapat satu kubah yang paling luas. Namun setiap kubah/ruang masjid tersebut tidak memiliki ruang interaksi mata yang memadai untuk pelaksanaan shalat jamaah. Berangkat dari hal tersebut, arsitektur yang mengagumkan dari luar ini sungguh ‘menipu’ ketika kita melihat masjid ini dari fungsi hakikinya sebagai peribadatan kolektif (shalat jamaah).

Shalat jamaah memiliki syarat-syarat tertentu, misalnya ruang tatap mata yang lepas antara makmum dan imam. Seorang ma’mum harus mengetahui gerakan shalat seorang imam,  baik dengan mendengar suara imam ataupun melihat gerakan ma'mum lain. Syarat semacam ini mensyaratkan bahwa ruang tatap antara ma’mum dan imam tak boleh terputus. Dengan konsep rancang bangun yang terpisah dan terbelah antara ruang satu dengan yang lain, arsitektur masjid Jami’ Al-Baitul Amin tentu ingkar pada persoalan syariat tersebut. Selain itu, shaf dalam shalat jamaah diharuskan lurus dan rapat, sehingga bentuk ruang yang melingkar pada masjid ini akhirnya menyisakan pojok-pojok barisan shalat yang menganga.

Barangkali jadi tidak menarik ketika menghubungkan rancang bangunan masjid dengan teknis religiositas (syariat), akan tetapi hal seperti ini dapat menjadi indikasi bahwa sang arsitek tidak terlampau detail mengolah berbagai pertimbangan-pertimbangan sebelum menentukan pilihan estetika yang akan dimunculkan sebagai bentuk visual bangunan. Lepasnya pertimbangan syariat dalam arsitektur masjid Jami’ Al-Baitul Amin ini yang saya sebut sebagai estetika yang mengecoh, menipu, dan akhirnya kebablasan. Adalah kesalahan fatal ketika menganaktirikan nilai fungsi dalam memunculkan kekuatan arsitektur sebuah bangunan atas nama estetika.

Mengawalkan segala pemilihan bentuk-bentuk estetis dalam rancang bangun dari nilai fungsi bukan merupakan pembatasan kreatif melainkan menempatkan estetika dengan bijaksana. Masjid Jami’ Al-Baitul Amin Jember menjadi salah satu arsitektur bangunan yang lalai pada pemrioritasan tersebut. Fungsi teknis religiositas tersebut justru merupakan hal yang penting dalam bangunan semacam masjid atau tempat peribadatan. Menimbang nilai fungsi dengan sedetail-detailnya adalah penting untuk melahirkan estetika yang tidak kebablasan. Disiplin apapun tak akan mampu berdiri sendirian karena begitu banyak hal yang harus ditumbang dan ditimbang.***


Add caption






















Halim Bahriz adalah mantan Ketua Umum UKM Kesenian Universitas Jember, Jawa Timur, periode 2009/2010. Menyukai dunia seni rupa dan karya cipta visual sejak kecil, ia bercita-cita menjadi arsitek, namun setelah dikandaskan hasil SMPTN, ia menjadi mahasiswa jurusan Sastra Indonesia Universitas Jember angkatan 2007. Ia lalu memutuskan untuk tidak melanjutkan studi sastranya di kampusnya dan lebih memilih beraktivitas di luar kampus. Bersama beberapa temannya, ia sedang merintis Kelompok Tikungan: Tak Harus Lurus, yang berkonsentrasi di wilayah seni dan pertunjukan. Ia pernah memenangkan sayembara penulisan lakon tingkat Jawa Timur. Ia juga sempat aktif melukis, walaupun hari-hari ini lebih banyak menghabiskan waktunya dengan ngopi dan bercanda.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More