.

Jumat, 09 September 2011

Kisah Duka Lara Tafsir Hanny Saputra

DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH

Sutradara  : Hanny Saputra
Skenario    : Titien Wattimena dan Armantono
Berdasarkan novel karya Hamka
Pemain       : Laudya Cintya Bella, Herjunot Ali, Didi Petet, Widyawati, Jenny Rachman
Produksi    : MD Pictures

Ketika layar berjanji mengirim kita ke Padang di tahun 1920, kita kemudian berharap bertemu  dunia yang diciptakan Hamka (Haji Abul Malik Karim Amrullah),  sastrawan angkatan Balai Pustaka. Nun di sebuah kampung di Sumatra Barat kita mengenal pasangan Zainab dan Hamid yang jatuh cinta. Tetapi cinta itu tak mungkin terwujud. Zainab, putri Engku Jafar datang dari strata sosial yang lebih tinggi daripada Hamid. Ibu Hamid bekerja pada keluarga Engku Ja’far. Engku Ja’far  bahkan mengirim Hamid ke sekolah HIS dan MULO. Lebih jauh lagi,  Zainab juga sudah dijodohkan dengan seorang pemuda lain dari Jawa.
         
Plot ini tentu menunjukkan zamannya. Percintaan yang terhadang oleh perbedaan kelas dan diwarnai dengan sejumlah kematian pada ujung cerita.
       
Apa boleh buat, roman karya Hamka yang hanya setebal 60 halaman ini dituang ke atas layar lebar dengan pengembangan plot. Perubahan dan pengembangan cerita dari novel ke film tentu saja sah, karena dua medium itu berbeda. Tetapi problem film ini bukan hanya sekadar pengembangan plot, melainkan tafsir sineas yang sejak awal sudah berbeda dari harapan kita, para pembaca karya Hamka.


Di tengah film, pengembangan plot itu  menampilkan adegan tokoh Zainab (Laudya Cyntia Bella) tercebur sungai dan Hamid (Herjunot Ali) memberikan bantuan pernapasan buatan. Perbuatan ini lantas membuat orang-orang desa tertegun dan merasa harus bertindak.  Hamid diadili karena dianggap telah berbuat tak senonoh dan diusir dari desa.        


Bukan saja subplot ini berlebihan, tetapi juga tidak realistis mengingat bahwa teknik pernapasan buatan baru ditemukan sekitar 40 tahun kemudian. Adegan pengadilan dan protes orang desa setempat yang bahkan meludahi wajah Hamid itupun menimbulkan tanda tanya: meski ini sebuah dunia imajinasi, dunia rekaan, bisakah kita yakin dan percaya hal ini terjadi? Apakah Hanny Saputra dan timnya serta produsernya tengah membuat sinetron TV dengan ongkos yang tinggi atau sebuah film yang diangkat dari karya sastrawan Hamka?        


Film ini memang sudah menggunakan tata artistik yang luar biasa, yang mencoba menyajikan setting Sumatera Barat 1920-an. Sepeda, kereta api, kostum, gerobak berhasil mengirim kita pada imaji Sumatera Barat  di masa kolonial Belanda.        


Di tangan sutradara Hanny Saputra dan penulis skenario Titien Wattimena dan Armantono,  Belanda hanyalah latar belakang nun jauh di ujung sana yang hanya berseliweran seperti bayang-bayang. Berlawanan dengan tafsir Asrul Sani dalam film “Para Perintis Kemerdekaan” (1981) yang terinspirasi oleh novel karya Hamka dan mengembangkannya dengan jauh hingga kepada tema revolusi, Hanny Saputra justru mengutamakan kisah kasih tak sampai antara Hamid dan Zainab.        


Karena tema utama adalah cinta dan kesengsaraan hati, maka tak heran sepanjang film yang kita temukan adalah dua hal : Pertama, adegan tertawa cekikikan  berkepanjangan antar sejoli yang dilanda cinta; kedua, ratapan duka lara mereka yang ditinggal mati.


Nah, adegan nomor satu itu menjadi lucu. Kita menemukan sosok Hamid (Herjunot Ali) yang cekikikan “hi hi hi hi” dan Zainab  (Laudya Cyntia Bella) yang membalasnya dengan “hi hi hi hi” di atas perahu,  di bawah hujan, di antara dinding. Pokoknya itulah ekspresi cinta mereka: “hi hi hi hi”


 “Hi hi hi hi” di antara kedua remaja yang kasmaran ini begitu berkepanjangan dan melelahkan hingga kita mulai bertanya-tanya, bukankah remaja Sumatera di masa itu gemar berpantun dan bermain kata saat mereka menyatakan cinta? Mengapa Hamid dan Zainab rekaan Hamka jadi penuh dengan “hi hi hi hi” di layar lebar yang tata artistiknya sudah begitu susah payah dibangun dengan ongkos produksi sakhohah?
         
Omong punya omong soal tata-artistik yag bagus, ada lagi gerundelan para penonton lain. Di antara kerja keras tim artistik untuk mengirim penonton ke Sumatera Barat tahun 1920, tiba-tiba menyeliplah dialog dan rekaman gambar kacang, pembasmi nyamuk dan camilan masa kini. Kini penonton yang mengeluarkan “hi hi hi hi”.

Sekarang kita bicara soal nomor dua: teriakan duka lara karena kematian tokoh-tokohnya. Soal kematian demi kematian memang salah satu ciri roman Balai Pustaka. Seperti juga novel-novel Inggris abad 19 yang selalu saja melibatkan serangkaian kematian dan tragedi para tokohnya, para sastrawan kita pun melalui fase kesusastraan seperti itu. Yang menarik adalah pola penggambaran adegan kematian dalam film ini selalu saja sama persis. Si tokoh yang akan mati itu berpesan terbata-bata di pelukan tokoh lain (misalnya ibu Hamid yang sudah sakit berat berpesan di atas gerobak sembari dipeluk putranya). Dan bukannya Hamid memanggil dokter atau tabib, tentu saja Hamid bertangis-tangis pilu. Setelah memperlihatkan emas permata yang dikumpulkan sang bunda, maka melayanglah nyawa ibunda. Lantas kita melihat Hamid yang menjerit histeris. Karena adegan kematian ada beberapa, maka adegan serupa ini terjadi berkali-kali. Capek deh.
         
Jika sejak awal film ini memang dimaksudkan untuk menampilkan kisah cinta remaja yang ringan, yang berisi tawa “hi hi hi hi” dan bergalon air mata, sebetulnya tak perlu bersusah-payah mengangkat novel sastra. Kasihan para sastrawannya. Ciptakan saja tokoh-tokoh baru dengan kisah cinta  yang mendayu. Upaya dan kerja keras serta uang ongkos produksi yang begitu tinggi pada akhirnya tak terasa. Sayang sekali.


Leila S.Chudori
TEMPO Interaktif

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More